Minggu, 19 April 2015


PENULIS ; ABDUL KARIM NURDIN
ABSTRAK
ABDUL KARIM NURDIN.NPM:12350038.Tokoh-Tokoh Pemikir Filsafat Sejarah.
Menurut prof. Sartono Kartodirjo filsafat sejarah adalah adalah suatu bagian filsafat yang berusaha memberikan jawaban terhadap pernyataan mengenai makna dari suatu proses peristiwa sejarah.manusia budaya tidak puas dengan pengetahuan sejarah,dicarinya makna yang menguasai kejadian-kejadian sejarah.dicarinya hubungan fakta-fakta dan sampai kepada asal dan tujuannya.kekuatan apakah yang akan menggerakkan sejarah kearah tujuannya.
Filsafat sejarah mencari penjelasan serta berusaha masukke dalam pikiran dan cita-cita manusia dan memberikan keterangan tentang bagaimana munculnya suatu Negara,bagaimana proses perkembangan kebudayaannyasampai mencapai pncak kejayaannya dan akhirnya mengalami kemunduran seperti yang dialami oeh Negara – Negara adi daya (adi kuasa ) pada masa lampau disertai pemimpin-pemimpin terkenal sebagai subjek pembuat sejarah pada zamannya.
Jadi filsafat sejarah adalah ilmu filsafat yang ingin memberikan jawaban atas sebab dan alasan segala peristiwa sejarah.lebih jelasnya, filsafat sejarah salah satu bagian filsafat yang ingin menyelidiki sebab-sebab terakhir dari suatu peristiwa, seta ingin memberikan jawaban atas sebab dan alasan semua peristiwa sejarah.

Kata Kunci : Tokoh-Tokoh, Filsafat, Sejarah

A.    Pendahuluan
Filsafat sejarah sebagaimana dikatakan oleh sejarawan Indonesia Sartono Kartodirjo adalah suatu bagian dari filsafat yang mencari makna dari suatu peristiwa sejarah. Maka dari pendapat tersebut saya sebagai penulis mengharapkan dengan tulisan ini semoga para pembaca dapat menganalisis peristiwa sejarah nasional, daerah ataupun yang terjadi disekitar kita  dan dapat menemukan sebab dan alasan dari peristiwa tersebut.
Penulis mengharapkan agar tulisan ini  bisa bermanfaat bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang mempunyai kesamaan tentang isi dan kajiannya. Penelitian ini dibimbing Oleh Bapak Lalu Murdi M.Pd. suatu kehormatan bagi penulis, jika ada kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca guna mengahasilkan karya tulis yang lebih baik lagi.

kelemahan datangnya dari penulis,kesempurnaan hanya milik Allah SWT”


B.     Tokoh-Tokoh Pemikir /Pelopor “Filsafat Sejarah”
1.         Patrick gardiner
Dalam (Http://Ryanpunyo.Blogspot.Com/2013/11/Resume-Filsafat-Sejarah-Menurut-Para.Html, 2015; 27 maret) Menurut gardiner,filsafat sejarah menuju pada dua jenis penyelidikan yang sangat berbeda. Secara tradisional ungkapan tersebut telah digunakan untuk menunjukkan dalam usaha  untuk memberikan keterangan atau tafsiran yang luas mengenai seluruh proses sejarah. Filsafat sejarah dalam arti ini secara khas berincikan dengan pernyataan – pernyataan seperti ; apa arti (makna,tujuan) atau hukum-hukum pokok mana yang mengatur perkembangan dan perubahan dalam sejarah.bermacam-macam dasar yang menjadi tumpuan tafsiran – tafsiran seperti itu,yang bervariasi dari pertimbangan-pertimbangan empiris sampai gagasan-gagasan yang jelas-jelas bersifat religius dan metafisik dan bentuknya tidak sama.sejarawan beranggapan bahwa proses sejarah lebih dari satu kumpulan peristiwa-peristiwa yang “secara tak bermakna”susul-menyusul dalam waktu atau suatu struktur atau tema yang mendasari semua yang masih harus ditemukan.
Pokok persoalan yang dibahas oleh filsafat sejarah “formal” itu bukan jalannya peristiwa-peristiwa sejarah,melainkan hakikat sejarah yang dipandang sebagai suatu disiplin  dan cabang pengetahuan yang khusus,dengan kata lain boleh dikatakan bahwa ia berurusan dengan pokok-pokok seperti tujuan–tujuan  penyelidikan sejarah,cara-cara sejarawan menggambarkan dan mengklasifikasikan bahan mereka,cara mereka sampai pada menyokong penjelasan-penjelasan dari  hipotesis-hipotesis ,anggapan-anggapan dan prinsip-prinsip yang menggarisbawahi tata cara penyelidikan mereka dan hubungan – hubungan antara sejarah dan bentuk – bentuk penyidikan lain.masalah-masalah yang dibahas oleh sejarah formal bukan masalah-masalah spekulatif sejenis yang telah disebutkan bukan sebagai masalah semacam yang seecara khas digeluti oleh sejarawan profesional dalam proses kerja mereka.pernyataan-pernyataan yang dilibatkan timbul dari renungan atas pemikiran dan penalaran menurut ilmu sejarah dan bersifat epistemologi serta konseptual.
2.      Friedrick Hegel ( 1770-1831 )
George wilhelm friedrick hegel lahir di stutgart, jerman 1770.belajar filsafat bersama schelling di Tubingen. Tahun 1817 Hegel diangkat sebagai guru besar di Heidelberg dan satu tahun kemudian pindah ke


berlin. Disini Hegel sangat popular dan disebut “ professor professorum “ artinya guru besarnya Professor. Mahasiswa-mahasiswa  dating dari mana-mana untuk mendengarkan ajarannya. Tahun 1813 ia meninggal di berlin.
Untuk mengerti filsafat Hegel harus diterangkan bentuk filsafat. Seluruh system Hegel terdiri dari rangkaian-rangkaian dialektis dari 3 ahap yaitu ; Tesis – Antithesis – Sintesis. Contoh dari Ada – tidak ada – Menjadi.
H.Hamersma dalam (Rustam E Tamburaka, 2002; 162) Dialektis merupakan suatu “Irama” yan memerintahkan seluruh pikiran Hegel. Kelemahan filsafat Hegel, antara lain, bahwa segala sesuatu ‘dicocokkan’ dengan struktur dialektis ini, dipaksakan untuk bentuk yang sesuai dengan keseluruhan.
Hegel memandang sejarah manusia sebagai perwujudan ilahi yang mutlak dan setiap bagian atau periode sejarah merupakan suatu langkah terus kearah penyempurnaan ini mesti ada berbudi dan segala yang ada adalah hasil perkembangan yang akan datang.
Ide ilahi itu diwujudkan dengan kesempurnaan yang tertinggi dalam Negara. Manusia menerima segala yang ia butuhkan untuk hidupnya baik yang moral maupun social dari Negara. Manusia tergantung pada Negara semata-mata dalam Eksistensinya dn esensi dan seperti perhubungan itu manusia harus mengabdi kepada Negara seperti instansi yang tertinggi di dunia.
Hegel memandang ide itu yaitu yang mutlak sebagai sebab yang terakhir untuk segala kejadian. Idelah yang menetapkan dan membentuk setiap yang disebut realitet dalam setiap fase (periode, langkah perkemmbangan sejarah ).
Kebanyakan filsuf abad kesembilan belas dan abad kedu puluh tidak dapat dimengerti kalau mereka dilepaskan dari Hegel. Filsafat eksistensi   (Kierkegaard,Nietzsche, Scheler, Marcel, Sartre,Heidegger,Karl Jaspers); kemudian positivism (Augus Comte); Materialisme (Feurbach); materialisme diaklektis (marx, Engel, Lenin) dan beberapa aliran “neo” yang kembali kepemikir-pemikir sebelum hegel hanya dapat dimengerti kalau juga dimengerti betapa berbeda mereka dari Hegel.
3.      Dialektis Materialisme dan Historis Materialisme, oleh Karl Max (1880-1883) dan Fredericht Engels (1820-1895)
        Dalam ajaran Hegel “dialektis” adalah bahan yang paling utama. Dialektis berasal dari kata dialego yang artinya membuat percakapan, polemic. Dalam proses berpikir dapat dibagi menjadi 3 lapisan, yaitu ; pendapat, jawaban, dan persatuan. Persatuan itu dalam waktu sama merupakan pendapat baru yang menuntut keberatan yang baru. Demikian proses itu berlangsung terus membimbing sampai pengetahuan yang lebih terang. Proses itu dinamakan oleh murid-murid Hegel dengan “Thesis” , “Antithesis” , dan “Synthesis” .
Marx memandang ide dan segala yang berhubungan denagan ide itu tidak lain dari pada suatu materi yang diganti dan dibentuk dalam pikiran manusia ( A. Marks dan R.E Tamburaka, 1965;25 ). Menurut marx segala yang disebut manusia pada umumnya rohani,jwa hanya suatu refleks dari suatu materi, refleks dari alam.
Marx memakai istilah materi itu pada intinya berasal dari ajaran Feuerbach seorang murid dari Hegel. Feuerbach memusatkan segala pikirannya dalam persoalan religious. Ia memandang manusia sebagai Allah untuk manusia. Manusia dalam hakikatnya adalah mahluk yang bermasyarakat, dan hanya kalau dalam masyarakat dan dalam persatuan dengan manusia yang lain manusia itu adalah mahluk yang sejati. Dari Feuerbach Marx mengambil pikiran tentang humanisme yaitu cita-cita untuk melepaskan manusia dari perbudakannya, dan dari pikiran itu Marx dibimbing ke sosialisme. Feuerbach juga mengajarkan apakah mausia itu, yaitu amhluk yang berindera dan itu adalah realitet yang sejati. Semua yang disebut rohani dan spiritual yang umumya hanya ilusu manusia. Pikiran, bayangan dan kemauan hanya hasil otak saja  (sekreta) seperti organ (anggota-anggota badan lainnya) mengelurkan bahan-bahan yang lain. 
B. Salam (dalam R.E Tamburaka, 2002; 167) Dasar filsafat Marx ialah bahwa setiap zaman, sistem produksi merupakan hal yang fundamental. Yang menjadi persoalan bukan cita-cita politik atau teologi berlebihan, melainkan suatu sistem produksi. Sejarah merupakan perjuangan kelas, perjuangan kelas yang tertindas melawan kelas yang berkuasa, pada waktu itu di Eropa disebut kelas Borjuis. Pada puncaknya dari sejarah,ialah suatu masyarakat yang tidak berkelas, yang menurut ajaran Marx ialah masyarakat komunis
Pandangan Marx tentang agama, sma halnya seperti Feuerbach, yang memendang agama sebagai proyeksi kehendak manusia. Perasaan atau gagasan keagamaan merupakan hasil kemauan suatu masyarakat tertentu, oleh Negara, oleh perorangan, bukan berasal dari dunia gaib. Pandangan inilah yang paling bertentangan dengan ajaran pancasila di Indonesia.

4.     Ibnu Khaldun (1332-1406)
Wali al-Din Abdurrahman bin Muhammad ibn Hasan ibn Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Abdurrahman ibn Khaldun lahir di Tunisia-Afrika Utara pada 1 Ramadhan 732 H/27 Mai 1332 M dan meninggal di Kairo pada tahun 808/1406 M. Beliau hidup pada abad ke-14 M yaitu ketika umat Islam mengalami zaman kemunduran dan perpecahan, sedangkan Eropa mengalami kebangkitan zaman Renaissans. Kemunduran yang dimaksudkan disini ialah berlakunya perpecahan dikalangan umat Islam dengan mazhab dan juga perpecahan dikalangan kaum Barbar, sebagian mendukung pemerintahan al-Murabitin dan sebagian yang lain mendukung kerajaan al-Muwahhidun. Akibatnya, umat Islam  mengalami kemunduran dalam bidang intelektual sehingga kebanyakan karya-karya yang muncul ketika itu hanya berbentuk syarah terhadap karya-karya di zaman keagungan Islam yaitu sekadar memberi uraian dan penjelasan yang lebih mendalam terhadap sebuah karya terdahulu. Berbeda dengan karya Ibn Khaldun yang telah menghasilkan sebuah ide baru khususnya dalam bidang pensejarahan. Beliau telah mempelajari bidang keagamaan ketika zaman mudanya yang secara tidak langsung mempengaruhi pemikiran dan penulisan karya-karyanya. Hal ini terbukti Ibn Khaldun telah meletakkan pengecualian terhadap mukjizat para nabi dalam konsep sebab-akibat di dalam filsafat dan metode sejarahnya. Pegangan inilah yang membedakan di antara seorang ilmuwan Islam dengan ilmuwan barat. Walaupun seseorang bebas untuk menggunakan akal fikiran dalam mengkaji alam, namun agama menjadi pembimbing dalam menentukan semua gerak kehidupan. Berbeda dengan konsep keilmuan dalam dunia barat yang menganggap agama sebagai pengungkung manusia mencapai kemajuan.
Dalam (https://homaniora.wordpress.com/2012/12/17/tokoh-tokoh-filosof-sejarah/,2015 ; 28 maret) Filsafat sejarah menurut Ibn Khaldun yaitu mengkaji fenomena-fenomena sosial secara lebih umum, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, mengkajinya dari segi tujuan yang ingin dicapai, serta hukum mutlak yang mengendalikannya sepanjang sejarah. Dalam pandangannya masyarakat merupakan mahluk histories yang hidup dan berkembang sesuai dengan hukum khusus, yang berkenaan dengannya. Hukum itu dapat diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap sejumlah fenomena sosial. Ia berpendapat sesungguhnya ‘ashabiyyah merupakan asas berdirinya suatu negara, dan faktor ekonomis yang merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadinya perkembangan masyarakat. Dari pendapat itu, Khaldun dapat dianggap sebagai tokoh pelopor materialisme sejarah, jauh sebelum Karl Marx. Dengan karyanya terkenal sebagai perintis dan pelopor The Culture Cycle Theory of History, yaitu satu teori Filsafat sejarah yang telah mendapat pengakuan di dunia Timur dan Barat tentang kematangannya. Khaldun dengan teorinya berpendapat bahwa sejarah dunia itu adalah satu siklus dari setiap kebudayaan dan peradaban. Ia mengalami masa lahirnya, masa berkembang, masa puncaknya kemudian masa menurun dan akhirnya masa kehancuran.  Khaldun mengistilahkan siklus ini dengan tiga tangga peradaban. Dalam buku Epistimologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun, Toto Suharto menambahkan bahwa masa lahir, masa berkembang hingga masa kehancuran tersebut akan mengalami suatu proses siklus menuju evolusi dan proses sehingga membentuk spiral.
5.      Oswald Spengler
Dalam (https://homaniora.wordpress.com/2012/12/17/tokoh-tokoh-filosof-sejarah/,2015; 28 maret) Oswald Spengler Gottfried Arnold Manuel lahir pada tanggal 29 mei 1880 di Blakenburg (sekarang Brunswick, Kekaisaran Jerman) di kaki pegunungan Harz. Ia merupakan putra sulung dari empat bersaudara sekaligus putra tunggal dalam keluarga. Ia memiliki kesehatan yang tidak sempurna dengan menderita migrain (sakit kepala) sepanjang hidupnya dan menderita kecemasan yang kompleks. Ayahnya seorang teknisi pembangunan di salah satu kantor pos birokrat Jerman.
Di usianya yang ke-10, ia beserta keluarga pindah ke kota Halle. Spengler menerima pendidikan klasik di lokal Gymnasium (sekolah menengah berorientasi akademis) dengan mempelajari  bahasa Yunani dan Latin, matematika, dan ilmu alam. Selain itu, ia juga mengembangkan afinitas seninya, terutama puisi, drama dan musik. Setelah kematian ayahnya pada 1901, Spengler mengikuti studi di beberapa perguruan tinggi (Munich, Berlin, dan Halle) dengan mengambil  berbagai mata pelajaran, seperti sejarah, filsafat, matematika, ilmu alam, sastra, klasik, musik dan seni. Pendidikan universitasnya sebagian besar dibiayai oleh warisan almarhum bibinya. Pada tahun 1903, ia gagal  lulus dalam ujian pertama tesis dokternya. Barulah setahun kemudian ia lulus ujian keduanya dan menerima gelar Ph. D.
Oswald Spengler berpandangan bahwa setiap peradaban besar mengalami proses kelahiran, pertumbuhan dan keruntuhan. Proses perputaran itu memakan waktu sekitar seribu tahun. Pernyataan Spengler tersebut tercantum dalam karyanya Der Untergang des Abendlandes (Decline of the West) atau Keruntuhan Dunia Barat/Eropa. Spengler meramalkan keruntuhan Eropa berdasarkan atas keyakinan bahwa gerak sejarah ditentukan oleh hukum alam yang disebut nasib, fatum atau dalam bahasa Jerman Schicksal. Dalil Spengler ialah bahwa kehidupan sebuah kebudayaan dalam segalanya sama dengan kehidupan tumbuhan, hewan, manusia dan alam semesta (makro dan mikro kosmos). Persamaan itu berdasarkan kehidupan yang dikuasai oleh hukum siklus sebagai wujud dari fatum. Fatum adalah hukum alam yang menjadi dasar segala hukum cosmos, setiap kejadian, setiap peristiwa akan terjadi lagi, terulang lagi.
Setiap masa pasti datang menurut waktunya, itulah keharusan alam yang pasti terjadi. Manusia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menerima amorfati. Seperti halnya historikal materialisme, paham Spengler tentang kebudayaan pasti runtuh apabila sudah melewati puncak kebesarannya. Oleh sebab itu keruntuhan suatu kebudayaan dapat diramalkan terlebih dahulu menurut perhitungan. Suatu kebudayaan mendekati keruntuhan apabila kultur sudah menjadi Civilization (kultur adalah kebudayaan, civilization adalah peradaban yaitu kebudayaan yang sudah tidak dapat tumbuh lagi). Apabila kultur sudah kehilangan jiwanya, maka daya cipta dan gerak sejarah akan membeku.
Gerak sejarah tidak bertujuan sesuatu kecuali melahirkan, membesarkan, mengembangkan dan meruntuhkan kebudayaan (siklus kehidupan). Spengler menyelidiki kebudayaan Barat dan setelah membandingkan kebudayaan Barat dengan sejarah kebudayaan-kebudayaan yang sudah tenggelam (misalnya: Babilonia, Mesir, Meksiko atau Aztec, Arab, Yunani dan Romawi yang masuk dalam budaya Klasik, serta Eropa atau Barat). Spengler  berkesimpulan bahwa:
Ø  Kebudayaan Barat sudah sampai pada masa-tua (musim dingin), yaitu masa civilization
Ø  Sesudah masa civilization itu kebudayaan Barat pasti-mesti-terus runtuh
Ø  Manusia Barat harus dengan bersikap berani menghadapi keruntuhan itu.

C.    Tokoh Pemikir Filsafat Sejarah Nasional Indonesia
1.      Prof. Muhammad Yamin
Menurut Muh. Yamin (1957; 26) untuk menyusun filsafat sejarah nasional banyak kita petik dari pujangga baru dari timur dan barat. Mereka itu antara lain; Herodotus, Ibn Khaldun, prapanca, Giovanni Battista Vico, Immanuel Kant, Hegel, Karl Max, karl Jaspers, Durant dan Arnold J. Toynbee (W.H. Frederick dan S. Soeroto dalam R.E Tamburaka, 2002;168).
Untuk membentuk filsafat sejarah nasional menurut Muh. Yamin, ialah dengan cara pemusatan pikiran kepada segala kejadian dan peristiwa sejarah Indonesia dan dalam hubungan dengan sejarah pada umumnya serta isi kajian filsafat. Filsafat sejarah nasional mempunyai  empat dasar kajian yaitu,
a)      Kebenaran
Tujuan akhir yang dijadikan tugas bagi tiap-tiap ilmu filsafat ialah mencari kebenaran yang sesungguhnya. Dengan sengaja disebutkan mencari kebenaran, dan tidak disebutkan mendapat kebenaran yang juga dapat dikatakan mempunyai atau memiliki kebenaran. Yang memegang serta memiliki kebenaran ialah hanya Tuhan Yang Maha Esa dan yang mencapai kebenaran menjadi tugas ahli pemikir filsafat apapun juga.
Kebenaran itu tersembunyi dalam dunia kebatinan dibelakang kejadian-kejadian sejarah di zaman yang lampau sebagai kelahiran masyarakat manusia. Walaupun kebenaran itu tidak dimiliki oleh ahli pemikir sejarah, tetapi ddengan meninjau atau menafsirkan segala kejadian itu dia telah dan selalu berkeyakinan secara subjektif bahwa tafsiannya ialah kesungguhan dari kebenaran secara objektif.
b)      Sejarah Indonesia
Yang menjadi objek filsafat sejarah atau yang ditafsirkannya ialah sejarah Indonesia. Dalam hal ini maka sejarah adalah ilmu pengetahuan yang dipahamkan dan telah dirumuskan secara ilmiah dengan bernama demikian.oleh karena objek itulah filsafat itu menjadi filsafat sejarah, sehingga kejadian-kejadian sebagai kelahiran masyarakat di zaman yang lampau membatasi filsafat khusus, sedangkan cara menafsirkan dan hubungan kejadian itu adalah dlam taraf yang umum dan universal.
c)      Sintesis
Tafsiran sejarah yang sintesis menjamin timbulnya sejarah Indonesia yang umum dengan menghindarkan berat sebelah, sehingga lepas dari gambaran ialah terhadap masyarakat pada zaman lampau.melainkan menjamin timbulnya cabang filsafat bagi sejarah dalam zaman pembangunan.
Tafsiran sintesis menjamin penulisan sejarah yang sempurna dan Historiorafi yang demikian memang jauh lebih sulit dari penulisan sejarah berdasarkan suatu macam tafsiran saja. Uraian dan penyelidikan tentang penafsiran sejarah memberi hasil kepada kita, bahwa tafsiran sintesislah yang harus dilakukan untuk mendapat Historiografi Indonesia yang baik dan yang dapat dipertanggungjawabkan bagi penulis buku sejarah yang berisi uraian panjang apalagi sebagai buku pelajaran disekolah dan untuk dibaca oleh rakyat diluar dinding gedung perguruan.
d)     Nasionalisme Indonesia
Nasionalisme Indonesia memberi tiga corak kepada filsafat sejarah seperti yang diuraikan diatas.
Pertama ; yang menjadi objek tafsirannya adalah sejarah nasional Indonesia, yang berbeda cara menulis dari sejarah Indonesia sebelum proklamasi, karena yang menjadi dasar kepada penulisan sejarah Indonesia sesudah tahun 1945 ialah adanya kemerdekaan Bangsa Indonesia yang menjadi syarat mutlak bagi segala ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh hikmah manusia bebas.
Corak kedua ; cara menafsirkan kejadian sejarah adalah sesuai dengan jalan pikiran orang atau bangsa Indonesia yang telah bebas merdeka, dan tak terikat rasa rendah atau berpemandangan sempit didalam ruangan pikiran terbatas.
Corak ketiga ; uraian dengan lisan atau menuliskan sejarah Indonesia memenuhi syarat para pengarang supaya secara subjektif sesuai dengan susila perjuangan kemerdekaan; memenuhi syarat susila pada karangan penulisan dan memnuhi syarat ilmu jiwa dan pendidikan pada si pembaca dan si pendengar, supaya rasa nasionalisme Indonesia merdeka menjadi kebanggaan yang jangan mudah tersinggung, malahn supaya menjadikan sejarah indonesi sumber inspirasi dan ilmu pengetahuan untuk kehidupan bangsa yang ingin berjiwa besar dan luas.
Filsafat seperti yang telah disebutkan diatas  dapat saya rumuskan sebagai filsafat nasional Indonesia, yang menjadi suatu kebenaran dengan menafsirkan secara sintesis kejadian-kejdian diperjalanan sejarah Indonesia dalam ruangan hidup rohani dan jasamani bangsa Indonesia.
2.      Dr. soedjatmoko
sudah menjadi ciri manusia yang berpikir  bahwa ia hendak menyusun pengetahuannya sedemikian rupa, sehingga pengetahuan itu dapat dicukupi oleh satu atau dua asas pokok dan prinsip saja. Demikian jugalah manusia, dalam menghadapi fakta-fakta sejarah, sejak dahulu telah mencoba untuk merumuskan suatu filsafat sejarah yang mencukupi segala sesuatu yang diketahuinya di dalam lapangan sejarah itu, dibawah satu atau beberapa prinsip orang, sehingga makna dari sejarah untuk manusia itu menjadi terang. Agustinus dalam “De Civitate Dei” telah menggambarkan sejarah berbagai pembeberan daripada kemauan Tuhan mulai awal penciptaan alam sampai hari kiamat.
Sejarah umat manusia sendiri telah memberiakan contoh-contoh kepada kita, betapa besarlah bahaya bagi sesuatu bangsa, yang telah tersesat didalam suatu dunia impian bikinan seperti itu. Kita sendiri telah menyaksikan runtuhnya impian jepang fasis yang menganggap dirinya sebagai sesuatu bangsa yang mempunyai asal serta panggilan tersendiri di dunia.
3.      Prof. Sartono Kartodirjo
Sartono Kartodirjo mengatakan (dalam R.E Tamburaka 2002;181). filsafat sejarah adalah salah satu bagian filsafat yang berusaha memberiakan jawab atas pertanyaan makna dari suatu proses peristiw sejarah. Manusia budaya tidak puas dengan pengetahuan sejarah, dicarinya makna-makna yang menguasai kejadian-kejadian sejarah. Dicarinya hubungan antara fakta-fakta dan sampai kepada asal dan tujuannya.
Proses berpikir tidak terjadi dalam suatu vakum tetapi dalam suatu lingkungan kebudayaan, sudah barang tentu dipengeruhi oleh bermacam-macam factor yang bekerja dalam kebudayaan itu. Suatu habitus berpikir yang berwujud sebagai suatu pola pikir yang menentukan cara atau sistem berpikir. Pola pikir tidak diketahui dengan cukup selama tidak dikembalikan kepada kebudayaanya yang mewujudkannya. Pola pikir itu sendiri terjadi sebagai hasil konfrontasi kebudayaan dengan alam dan situasi serta perubahan-perubahannya. Bentuk pikiran diwujudkan berdasarkan penginderaan realitas dengan cara yang berwujud.
Filsafat sejarah sebagai manifestasi kebudayaan yang mendukungnya, mau tak mau mencerminkan gaya kultural peradabannya. Latar belakang kebudayaan menjadi determinan Bgi suatu filsafat sejarah, maka perbandingan antara filsafat sejarah abad pertengahan dengan filsafat sejarah modern akan mampu menonjolkan perbedaan sifat-sifat kedua perbedaan tersebut. Paraleliasme antara filsafat sejarah dengan kebudayaan yang melingkupinya jelas-jelas meampilkan adanya afinitas kultural suatu sifat sejarah atau pandangan hidup. Disini kita juga dengan tepat dapat memakai istilah kultur –gabudenheit (ikatan kebudayaan) dari duatu ide, suatu kenyataan yang tak henti-hentinya ditegaskan disini.
Dengan kultur-gabudenheit itu sebagai istilah kunci dalam mempelajar filsafat sejarah kita sekaligus memakai pendekatan kontekstual. Kalu pada satu pihak pendekatan itu menjelskan kedudukan sosio-historis suatu ide, pada phak lain kita perlu waspada agar tidak terjerumus pada kulturlisme.




D.    Kesimpulan
 Bermacam-macam teori yang telah dicetuskan oleh banyak filosof diantaranya dapat dilihat di ulasan pada tulisan  diatas misalnya filosof Patrick gardiner, Hegel, karl marx dan friedrich Engels, Ibnu Khaldun, Oswald Spengler dan masih banyak tokoh-tokoh filusuf yang lainya. Setelah saya membaca dan menganalisis dari beberapa teori-teori yang telah mereka hasilkan. Saya lebih setuju teori siklus dikarenakan setiap peradaban besar mengalami mengalami proses kelahiran, pertumbuhan dan keruntuhan, dimana proses-proses tersebut terus berulang. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh beberapa filsuf seperti Ibn Khaldun, Spengler, Toynbee dan mungkin beberapa tokoh yang lain. Namun saya tidak sependapat dengan pemikiran Spengler yang mana proses perputaran itu bisa diukur dengan kurun waktu seribu tahun dikarenakan dalam proses perputaran tersebut manusia, prilaku dan budaya semakin berkembang dan maju bahkan bisa mundur kembali yang mana dapat dilihat ketika minoritas kreatif kehilangan daya ciptanya dan kebejatan moral sudah menguasai mayoritas, suatu peradaban akan mengalami kemunduran yang akhirnya dilanjutkan dengan kehancuran dan diganti dengan peradaban yang baru, begitu seterusnya. Proses perputaran tersebut melahirkan peradaban baru yang bisa jadi lebih unggul dibandingkan peradaban-peradaban sebelumnya. Sekalipun sudah bisa diketahui ciri-ciri suatu peradaban akan mengalami kehancuran, namun tidak ada yang bisa menentukan berapa lama waktu yang diperlukan dalam satu proses perputaran tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Tamburaka E. Rustam. Prof. MA. Drs ;.  pengantar ilmu sejarah, teori filsafat sejarah, sjarah filsafat dan IPTEK, PT. RINEKA CIPTA, Jakarta, 2002.









0 komentar:

Posting Komentar